Lahir lebih dari seabad yang lalu di sebuah kota yang terletak di pantai utara Pulau Jawa, Kartini hidup dalam adat istiadat Jawa yang sangat kental. Berkat pemikirannya yang kritis, ia berusaha mendobrak adat istiadat yang tidak sesuai dengan hak-hak dasar kemanusiaan. Hidup di zaman yang masih menjadikan wanita sebagai warga kelas dua, Kartini sangat berani untuk memperjuangkan persamaan hak antara pria dan wanita. Perjuangan itulah yang kini kita sebut dengan perjuangan emansipasi wanita.
Apa yang diperjuangkan Kartini merupakan sesuatu yang memang sudah seharusnya didapatkan oleh para wanita seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran. Dalam surat Al-Ahzab ayat 35, tidak disebutkan hanya laki-laki sajalah yang berhak mendapat pahala dan kemuliaan dari Allah, namun perempuan juga memiliki hak dan ksempatan yang sama. Senada dengan Al-Quran, dalam bukunya Door Duisternis Tot Light, Kartini menulis surat kepada Prof. Anton dan istrinya tentang perjuangannya agar para wanita memperoleh hak-hak dan kesempatan yang sama dalam pendidikan dengan laki-laki. Sebenarnya, Kartini mempunyai maksud lain yang sangat bermakna di balik perjuangan kesetaraan hak tersebut.
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar yakni bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam dan ke tujuannya : menjadi ibu, pendidik anaknya yan pertama-tama”
Kutipan surat di atas memperlihatkan bahwa perjuangan kesetaraan hak yang dilakukan oleh Kartini masih dalam kerangka kodrat awal wanita, sebagai ibu, pendidik yang utama bagi anaknya. Jika kita melihat gerakan emansipasi yang dilakukan wanita moderen sekarang ini, terdapat perbedaan yang cukup signifikan dilihat dari substansi yang mereka perjuangkan. Kesetaraan gender yang mereka dengungkan lebih cenderung untuk menjadikan wanita bebas, sebebas-bebasnya, bahkan perjuangan mereka tidak memperhatikan lagi posisi wanita dalam kodratnya contohnya dengan meminta kebebasan memiliki anak tanpa menikah. Padahal, dalam surat An-Nisa ayat 1 disebutkan "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri (entitas) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.
Melihat kondisi pada zaman sekarang ini, para wanita sebenarnya tak perlu khawatir akan masa depan mereka. Toh, perjuangan yang dilakukan oleh Kartini sudah membawa hasil dengan dibolehkannya wanita mendapatkan pendidikan dan pengajaran serta kesempatan yang sama di berbagai bidang dengan pria. Kesempatan dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial sudah terbuka luas untuk wanita tanpa memperhatikan gendernya. Banyak direktur, CEO, kepala sekolah, menteri hingga pemimpin negara yang berasal dari kaum wanita. Walaupun demikian, patut kita ingat kembali bahwa kebebasan yang sudah dinikmati wanita saat ini tidak boleh melupakan takdir dan kodrat alaminya, sebagai ibu, pencetak generasi masa depan bangsa.Wallahu`alam.
Apa yang diperjuangkan Kartini merupakan sesuatu yang memang sudah seharusnya didapatkan oleh para wanita seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran. Dalam surat Al-Ahzab ayat 35, tidak disebutkan hanya laki-laki sajalah yang berhak mendapat pahala dan kemuliaan dari Allah, namun perempuan juga memiliki hak dan ksempatan yang sama. Senada dengan Al-Quran, dalam bukunya Door Duisternis Tot Light, Kartini menulis surat kepada Prof. Anton dan istrinya tentang perjuangannya agar para wanita memperoleh hak-hak dan kesempatan yang sama dalam pendidikan dengan laki-laki. Sebenarnya, Kartini mempunyai maksud lain yang sangat bermakna di balik perjuangan kesetaraan hak tersebut.
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar yakni bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam dan ke tujuannya : menjadi ibu, pendidik anaknya yan pertama-tama”
Kutipan surat di atas memperlihatkan bahwa perjuangan kesetaraan hak yang dilakukan oleh Kartini masih dalam kerangka kodrat awal wanita, sebagai ibu, pendidik yang utama bagi anaknya. Jika kita melihat gerakan emansipasi yang dilakukan wanita moderen sekarang ini, terdapat perbedaan yang cukup signifikan dilihat dari substansi yang mereka perjuangkan. Kesetaraan gender yang mereka dengungkan lebih cenderung untuk menjadikan wanita bebas, sebebas-bebasnya, bahkan perjuangan mereka tidak memperhatikan lagi posisi wanita dalam kodratnya contohnya dengan meminta kebebasan memiliki anak tanpa menikah. Padahal, dalam surat An-Nisa ayat 1 disebutkan "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri (entitas) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.
Melihat kondisi pada zaman sekarang ini, para wanita sebenarnya tak perlu khawatir akan masa depan mereka. Toh, perjuangan yang dilakukan oleh Kartini sudah membawa hasil dengan dibolehkannya wanita mendapatkan pendidikan dan pengajaran serta kesempatan yang sama di berbagai bidang dengan pria. Kesempatan dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial sudah terbuka luas untuk wanita tanpa memperhatikan gendernya. Banyak direktur, CEO, kepala sekolah, menteri hingga pemimpin negara yang berasal dari kaum wanita. Walaupun demikian, patut kita ingat kembali bahwa kebebasan yang sudah dinikmati wanita saat ini tidak boleh melupakan takdir dan kodrat alaminya, sebagai ibu, pencetak generasi masa depan bangsa.Wallahu`alam.
Komentar