Meraba Kemungkinan Kembalinya Executive Heavy di Indonesia
Lebih dari tiga puluh tahun Indonesia berada dalam kekuasaan pemerintahan yang sangat besar (executive heavy). Pada masa Demokrasi Terpimpin, benih-benih kemunculan executive heavy mulai terlihat jelas saat dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959 yang salah satunya berisi tentang pembubaran konstituante. Keadaan ini berlanjut pada masa orde baru. UUD 1945 yang penuh dengan cacat bawaan karena tidak dimuatnya mekanisme check and balances dimanfaatkan oleh presiden Soeharto untuk berkuasa secara berlebihan. Terjadinya executive heavy di Indonesia ini dapat disebabkan oleh tiga faktor yakni faktor konstitusional, teknis, dan politik.
UUD 1945 yang bersifat darurat dan sementara memungkinkan adanya kekuasaan presiden yang berlebihan sebab tidak adanya pembatasan masa jabatan dan tidak adanya sanksi yang jelas (misalnya pencopotan jabatan) ketika presiden melakukan kesalahan seperti korupsi. Faktor konstitusional inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh presiden Soekarno dan terutama oleh presiden Soeharto sehingga executive heavy dapat terjadi pada kedua masa itu. Jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan (sebagai panglima TNI serta kepala eksekutif) dan kepala negara (sebagai juru bicara negara) menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden sebagai kepala eksekutif.
Faktor lain yang juga dapat menyebabkan terjadinya executive heavy ialah faktor teknis. Faktor teknis yang dimaksud disini ialah kapabilitas seorang presiden yang termasuk di dalamnya karisma, kemampuan, serta kewibawaan yang dimiliki seorang presiden sehingga dapat mengambil kepercayaan dari masyarakat. Kapabilitas tersebut memang dapat kita lihat pada masa kepemimpinan presiden Soekarno maupun presiden Soeharto. Bahkan sampai sekarang masih banyak masyarakat yang mengidolakan kepemimpinan Soekarno maupun Soeharto karena kapabilitas mereka dalam memimpin Indonesia.
Tak kalah penting ialah faktor politik, yakni kemampuan seorang presiden dalam melakukan upaya-upaya penguatan kekuasaannya. Faktor politik ini sangat bekerja pada masa orde baru karena selain menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden diangkat sebagai mandataris MPR, ketua Dewan Pembina Golkar, serta pembina politik dalam negeri. Jabatan-jabatan tersebut, terutama jabatan yang terakhir disebutkan membuka peluang yang sangat lebar bagi adanya rekayasa partai politik untuk melegitimasi kekuasaan presiden yang tanpa batas.
Pengalaman adanya kekuasaan eksekutif yang berlebihan dan tidak jalannya mekanisme check and balances di masa lalu menghasilkan reformasi besar-besaran di bidang politik dan pemerintahan. UUD 1945 yang diamandemen sangat membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh presiden dengan tujuan agar presiden tidak lagi dapat menyalahgunakan kekuasaannya yang berlebihan. Jabatan presiden sebagai kepala negara yang dulunya dapat memberikan gelar, simbol, dan tanda jasa tanpa persetujuan DPR, sekarang harus melalui persetujuan DPR. Begitupun sebagai kepala pemerintahan, penunjukan jaksa agung, panglima TNI, kapolri, dan gubernur BI harus sesuai persetujuan DPR. APBN pun sekarang benar-benar diawasi dan ditentukan oleh DPR untuk pengalokasiannya, padahal dahulu pemerintah lah yang menentukan besarnya APBN dengan persetujuan DPR. Akibatnya kekuasaan eksekutif yang dahulu cenderung dominan, sekarang bergeser ke arah kekuasaan legislatif yang dominan (legislative heavy). Pertanyaan yang muncul saat ini, mungkinkah executive heavy dapat kembali terjadi di Indonesia?
Jawabannya, mungkin saja hal itu dapat terjadi. Namun,faktor konstitusional yang ada saat ini tidak memungkinkan terjadinya executive heavy dalam waktu dekat. Faktor politik dan faktor teknislah yang cenderung dapat lebih mendukung terjadinya executive heavy pada masa sekarang. Kewibawaan dan karisma presiden serta kemampuannya dalam memimpin negara sehingga berhasil dalam merebut simpati rakyat apabila didukung oleh kekuatan politik yang hebat bisa mendorong terjadinya executive heavy apabila konstitusi dapat diubah kembali.
Sebagai contoh, misalnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung partai (yang menurut hasil hitung cepat) pemenang pemilu 2009, partai Demokrat, dapat didukung oleh lebih dari setengah (bahkan jika munkin seluruh) anggota parlemen, menyebabkan kedudukannya tidak dapat digoyahkan oleh DPR. Sangat mungkin jika DPR kembali dikuasai oleh presiden apabila tidak ada koalisi oposisi yang kuat. Kewibawaan dan karisma SBY serta ‘prestasi-prestasi’ yang sudah dibuat pemerintahannya membuat masyarakat masih percaya dengan kemampuan beliau untuk memimpin negara ini sehingga kemungkinan besar beliau dapat terpilih lagi sebagai presiden. Dengan adanya dukungan DPR dan kepercayaan masyarakat yang besar peluang kembalinya keadaan executive heavy juga sangat besar. Konstitusi bukan tidak mungkin dapat diubah kembali apabila ada peluang. Namun, menurut saya hal itu sangat sulit terjadi dalam waktu dekat ini.
Melihat ketiga faktor di atas yakni faktor konstitusional, faktor teknis, dan faktor politik, kemungkinan kembalinya kekuasaan eksekutif yang berlebihan masih ada. Namun, patut digarisbawahi bahwa hal itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini, sebab UUD 1945 hasil amandemen sudah mengatur sedemikian rupa sehingga kemungkinan kembalinya executive heavy sangat kecil. Mekanisme check and balances yang sudah mulai jelas diatur dalam UUD 1945, faktor politik di mana tidak ada kekuatan partai politik yang dominan, dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat membuat keadaan executive heavy tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat ini. Walaupun demikian, kemungkinan tersebut masih terbuka lebar dalam jangka panjang apabila ada dukungan dari faktor konstitusional, teknis dan politik.
Lebih dari tiga puluh tahun Indonesia berada dalam kekuasaan pemerintahan yang sangat besar (executive heavy). Pada masa Demokrasi Terpimpin, benih-benih kemunculan executive heavy mulai terlihat jelas saat dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959 yang salah satunya berisi tentang pembubaran konstituante. Keadaan ini berlanjut pada masa orde baru. UUD 1945 yang penuh dengan cacat bawaan karena tidak dimuatnya mekanisme check and balances dimanfaatkan oleh presiden Soeharto untuk berkuasa secara berlebihan. Terjadinya executive heavy di Indonesia ini dapat disebabkan oleh tiga faktor yakni faktor konstitusional, teknis, dan politik.
UUD 1945 yang bersifat darurat dan sementara memungkinkan adanya kekuasaan presiden yang berlebihan sebab tidak adanya pembatasan masa jabatan dan tidak adanya sanksi yang jelas (misalnya pencopotan jabatan) ketika presiden melakukan kesalahan seperti korupsi. Faktor konstitusional inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh presiden Soekarno dan terutama oleh presiden Soeharto sehingga executive heavy dapat terjadi pada kedua masa itu. Jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan (sebagai panglima TNI serta kepala eksekutif) dan kepala negara (sebagai juru bicara negara) menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden sebagai kepala eksekutif.
Faktor lain yang juga dapat menyebabkan terjadinya executive heavy ialah faktor teknis. Faktor teknis yang dimaksud disini ialah kapabilitas seorang presiden yang termasuk di dalamnya karisma, kemampuan, serta kewibawaan yang dimiliki seorang presiden sehingga dapat mengambil kepercayaan dari masyarakat. Kapabilitas tersebut memang dapat kita lihat pada masa kepemimpinan presiden Soekarno maupun presiden Soeharto. Bahkan sampai sekarang masih banyak masyarakat yang mengidolakan kepemimpinan Soekarno maupun Soeharto karena kapabilitas mereka dalam memimpin Indonesia.
Tak kalah penting ialah faktor politik, yakni kemampuan seorang presiden dalam melakukan upaya-upaya penguatan kekuasaannya. Faktor politik ini sangat bekerja pada masa orde baru karena selain menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden diangkat sebagai mandataris MPR, ketua Dewan Pembina Golkar, serta pembina politik dalam negeri. Jabatan-jabatan tersebut, terutama jabatan yang terakhir disebutkan membuka peluang yang sangat lebar bagi adanya rekayasa partai politik untuk melegitimasi kekuasaan presiden yang tanpa batas.
Pengalaman adanya kekuasaan eksekutif yang berlebihan dan tidak jalannya mekanisme check and balances di masa lalu menghasilkan reformasi besar-besaran di bidang politik dan pemerintahan. UUD 1945 yang diamandemen sangat membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh presiden dengan tujuan agar presiden tidak lagi dapat menyalahgunakan kekuasaannya yang berlebihan. Jabatan presiden sebagai kepala negara yang dulunya dapat memberikan gelar, simbol, dan tanda jasa tanpa persetujuan DPR, sekarang harus melalui persetujuan DPR. Begitupun sebagai kepala pemerintahan, penunjukan jaksa agung, panglima TNI, kapolri, dan gubernur BI harus sesuai persetujuan DPR. APBN pun sekarang benar-benar diawasi dan ditentukan oleh DPR untuk pengalokasiannya, padahal dahulu pemerintah lah yang menentukan besarnya APBN dengan persetujuan DPR. Akibatnya kekuasaan eksekutif yang dahulu cenderung dominan, sekarang bergeser ke arah kekuasaan legislatif yang dominan (legislative heavy). Pertanyaan yang muncul saat ini, mungkinkah executive heavy dapat kembali terjadi di Indonesia?
Jawabannya, mungkin saja hal itu dapat terjadi. Namun,faktor konstitusional yang ada saat ini tidak memungkinkan terjadinya executive heavy dalam waktu dekat. Faktor politik dan faktor teknislah yang cenderung dapat lebih mendukung terjadinya executive heavy pada masa sekarang. Kewibawaan dan karisma presiden serta kemampuannya dalam memimpin negara sehingga berhasil dalam merebut simpati rakyat apabila didukung oleh kekuatan politik yang hebat bisa mendorong terjadinya executive heavy apabila konstitusi dapat diubah kembali.
Sebagai contoh, misalnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung partai (yang menurut hasil hitung cepat) pemenang pemilu 2009, partai Demokrat, dapat didukung oleh lebih dari setengah (bahkan jika munkin seluruh) anggota parlemen, menyebabkan kedudukannya tidak dapat digoyahkan oleh DPR. Sangat mungkin jika DPR kembali dikuasai oleh presiden apabila tidak ada koalisi oposisi yang kuat. Kewibawaan dan karisma SBY serta ‘prestasi-prestasi’ yang sudah dibuat pemerintahannya membuat masyarakat masih percaya dengan kemampuan beliau untuk memimpin negara ini sehingga kemungkinan besar beliau dapat terpilih lagi sebagai presiden. Dengan adanya dukungan DPR dan kepercayaan masyarakat yang besar peluang kembalinya keadaan executive heavy juga sangat besar. Konstitusi bukan tidak mungkin dapat diubah kembali apabila ada peluang. Namun, menurut saya hal itu sangat sulit terjadi dalam waktu dekat ini.
Melihat ketiga faktor di atas yakni faktor konstitusional, faktor teknis, dan faktor politik, kemungkinan kembalinya kekuasaan eksekutif yang berlebihan masih ada. Namun, patut digarisbawahi bahwa hal itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini, sebab UUD 1945 hasil amandemen sudah mengatur sedemikian rupa sehingga kemungkinan kembalinya executive heavy sangat kecil. Mekanisme check and balances yang sudah mulai jelas diatur dalam UUD 1945, faktor politik di mana tidak ada kekuatan partai politik yang dominan, dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat membuat keadaan executive heavy tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat ini. Walaupun demikian, kemungkinan tersebut masih terbuka lebar dalam jangka panjang apabila ada dukungan dari faktor konstitusional, teknis dan politik.
Komentar