Lebih dari satu bulan yang lalu pasangan SBY-Boediono mendeklarasikan keikutsertaan mereka dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan berlangsung pada 8 Juli mendatang. Deklarasi yang dilakukan pasangan ini bertempat di Sasana Budaya Ganesha, Bandung. Pemilihan gedung tersebut memiliki makna tersendiri bagi calon presiden dan calon wakil presiden ini. Pun begitu dengan masyarakat Indonesia dan mahasiswa ITB pada khususnya. Pemilihan gedung yang bertempat tidak jauh dari kampus ITB tersebut (bahkan dalam gedung milik ITB) membuat kontroversi di kalangan mahasiswa. Dipilihnya Sasana Budaya Ganesha yang merupakan balairungnya ITB, bagi khalayak umum dapat diintrepretasikan sebagai keberpihakan pihak kampus ITB kepada salah satu pasangan capres-cawapres. Inilah yang kemudian membawa kontoversi baik dalam kampus dan di luar kampus. Pada hari itu sebagian mahasiswa ITB menggelar aksi unjuk rasa menolak adanya politisasi kampus. Dalam salah satu spanduk yang dibentangkan tertulis "Netralitas Kampus, Harga Mati!". Bahkan, untuk menyanggah pendapat yang berkembang di masyarakat umum, pihak KM-ITB dalam websitenya (12/6) mengeluarkan pernyataan bahwa sebagai institusi pendidikan, kampus ITB (terutama mahasiswanya) tidak pernah menunjukkan keberpihakan kepada capres-cawapres tertentu. Jadi, rumor mengenai pernyataan rektorat ITB yang mendukung pencalonan pasangan SBY-Boediono tidak benar.
Dari kasus tersebut dapat kita lihat bahwa kampus memiliki peran strategis dalam kampanye politik para calon presiden dan calon wakil presiden. Dukungan dari kalangan kampus (baik itu rektorat maupun mahasiswanya) merupakan modal politik yang dapat menjadi sebuah kekuatan untuk meraih suara dalam pemilu presiden nanti. Dari kampus banyak dilahirkan ahli-ahli dan pengamat-pengamat dalam berbagai bidang terutama dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi yang tentu saja sangat diperlukan analisanya menjelang pilpres ini. Mahasiswa, sebagai kelompok terbesar yang berada dalam kampus juga memiliki peran yang sangat penting sebagai agen pembawa perubahan dan pencipta opini publik. Apabila pasangan calon presiden dan wakil presiden sudah mendapat dukungan dari mahasiswa, dapat diperkirkan perjalanannya menuju tampuk kepemimpinan (dan pada saat ia memimpin nantinya) akan mulus, jauh dari aksi unjuk rasa. Betapa strategisnya peran kampus, sehingga kampus sangat rentan dengan politisasi dari pihak-pihak tertentu. Salah satu cara untuk meraih dukungan dari pihak kampus ialah dengan mendukung isu-isu tertentu yang sedang hot-hotnya di kalangan civitas akademika seperti penolakan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)yang diajukan pasangan Megawati-Prabowo. Hal ini cukup menarik karena sebagian besar civitas akademika dalam kampus menolak adanya UU BHP. Keberpihakan Mega-Pro terhadap penolakan UU BHP dapat dijadikan sebagai alat menjaring dukungan dan simpati dari seluruh civitas akademika dalam kampus. Inilah yang dapat menjadi cikal bakal politisasi dalam kampus.
Oleh sebab itu, DPR kemudian membuat UU No. 10 Tahun 2008 mengenai pemilu yang salah satu pasalnya berbunyi bahwa lembaga maupun institusi pendidikan harus bebas dari kampanye. Diharapkan adanya pelarangan kampanye (yang termasuk di dalamnya dialog terbuka, debat kandidat, dan mimbar bebas) dalam kampus tersebut dapat menghindari adanya upaya politisasi pihak-pihak tertentu dan menjada netralitas kampus dalam pemilu 2009. Tak heran, di pintu masuk kampus UI menjelang kampanye pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD beberapa waktu lalu dibentangkan spanduk "Peserta Kampanye Dilarang Masuk Kampus". Pertanyaannya sekarang, apakah kampus harus benar-benar tertutup dari hingar bingar pesta demokrasi tahun 2009?
Sebagai institusi pendidikan, baik itu perguruan tinggi, sekolah menengah maupun sekolah dasar memang harus bebas dari upaya politisasi. Secara etis, lembaga maupun institusi pendidikan memang tidak pantas dijadikan sebagai alat politik. Sebagai tempat menimba ilmu, kampus dan lembaga pendidikan lain selayaknya tidak boleh 'dinodai' oleh intrik-intrik busuk politik. Namun, di sisi lain kampus juga seharusnya menjadi tempat pendidikan untuk semua bidang ilmu, termasuk pendidikan politik. Adanya UU No.10/2008 tersebut menutup kesempatan pihak kampus untuk memberikan sebuah pendidikan politik terhadap warganya. Ambil contoh, pelarangan debat capres-cawapres dalam kampus. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat disayangkan, karena kampus sebagai tempat berkumpulnya para intelektual muda tidak diberikan kesempatan untuk melihat seberapa besar kualitas calon presiden dan calon wakil presiden yang akan mereka pilih nanti. Adanya dialog terbuka dengan para kandidat calon presiden dan calon wakil presiden juga merupakan sebuah pendidikan politik yang baik bagi seluruh civitas akademika.
Memang, di sisi lain kita tidak dapat mengelak, jika kepentingan-kepentingan politik dalam pilpres ini masuk ke dalam kampus melalui kampanye politik, kenetralitasan kampus akan dipertanyakan. Namun, apabila pihak kampus memberikan kesempatan yang sama kepada semua capres-cawapres kemungkinan stereotipe bahwa kampus memihak calon tertentu mungkin tidak akan ada. Hal ini lebih baik daripada kampus hanya membuka pintunya untuk capres-caawapres tertentu, seperti yang dilakukan ITB sehingga menimbulkan stereotipe negatif di masyarakat.
Dari kasus tersebut dapat kita lihat bahwa kampus memiliki peran strategis dalam kampanye politik para calon presiden dan calon wakil presiden. Dukungan dari kalangan kampus (baik itu rektorat maupun mahasiswanya) merupakan modal politik yang dapat menjadi sebuah kekuatan untuk meraih suara dalam pemilu presiden nanti. Dari kampus banyak dilahirkan ahli-ahli dan pengamat-pengamat dalam berbagai bidang terutama dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi yang tentu saja sangat diperlukan analisanya menjelang pilpres ini. Mahasiswa, sebagai kelompok terbesar yang berada dalam kampus juga memiliki peran yang sangat penting sebagai agen pembawa perubahan dan pencipta opini publik. Apabila pasangan calon presiden dan wakil presiden sudah mendapat dukungan dari mahasiswa, dapat diperkirkan perjalanannya menuju tampuk kepemimpinan (dan pada saat ia memimpin nantinya) akan mulus, jauh dari aksi unjuk rasa. Betapa strategisnya peran kampus, sehingga kampus sangat rentan dengan politisasi dari pihak-pihak tertentu. Salah satu cara untuk meraih dukungan dari pihak kampus ialah dengan mendukung isu-isu tertentu yang sedang hot-hotnya di kalangan civitas akademika seperti penolakan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)yang diajukan pasangan Megawati-Prabowo. Hal ini cukup menarik karena sebagian besar civitas akademika dalam kampus menolak adanya UU BHP. Keberpihakan Mega-Pro terhadap penolakan UU BHP dapat dijadikan sebagai alat menjaring dukungan dan simpati dari seluruh civitas akademika dalam kampus. Inilah yang dapat menjadi cikal bakal politisasi dalam kampus.
Oleh sebab itu, DPR kemudian membuat UU No. 10 Tahun 2008 mengenai pemilu yang salah satu pasalnya berbunyi bahwa lembaga maupun institusi pendidikan harus bebas dari kampanye. Diharapkan adanya pelarangan kampanye (yang termasuk di dalamnya dialog terbuka, debat kandidat, dan mimbar bebas) dalam kampus tersebut dapat menghindari adanya upaya politisasi pihak-pihak tertentu dan menjada netralitas kampus dalam pemilu 2009. Tak heran, di pintu masuk kampus UI menjelang kampanye pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD beberapa waktu lalu dibentangkan spanduk "Peserta Kampanye Dilarang Masuk Kampus". Pertanyaannya sekarang, apakah kampus harus benar-benar tertutup dari hingar bingar pesta demokrasi tahun 2009?
Sebagai institusi pendidikan, baik itu perguruan tinggi, sekolah menengah maupun sekolah dasar memang harus bebas dari upaya politisasi. Secara etis, lembaga maupun institusi pendidikan memang tidak pantas dijadikan sebagai alat politik. Sebagai tempat menimba ilmu, kampus dan lembaga pendidikan lain selayaknya tidak boleh 'dinodai' oleh intrik-intrik busuk politik. Namun, di sisi lain kampus juga seharusnya menjadi tempat pendidikan untuk semua bidang ilmu, termasuk pendidikan politik. Adanya UU No.10/2008 tersebut menutup kesempatan pihak kampus untuk memberikan sebuah pendidikan politik terhadap warganya. Ambil contoh, pelarangan debat capres-cawapres dalam kampus. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat disayangkan, karena kampus sebagai tempat berkumpulnya para intelektual muda tidak diberikan kesempatan untuk melihat seberapa besar kualitas calon presiden dan calon wakil presiden yang akan mereka pilih nanti. Adanya dialog terbuka dengan para kandidat calon presiden dan calon wakil presiden juga merupakan sebuah pendidikan politik yang baik bagi seluruh civitas akademika.
Memang, di sisi lain kita tidak dapat mengelak, jika kepentingan-kepentingan politik dalam pilpres ini masuk ke dalam kampus melalui kampanye politik, kenetralitasan kampus akan dipertanyakan. Namun, apabila pihak kampus memberikan kesempatan yang sama kepada semua capres-cawapres kemungkinan stereotipe bahwa kampus memihak calon tertentu mungkin tidak akan ada. Hal ini lebih baik daripada kampus hanya membuka pintunya untuk capres-caawapres tertentu, seperti yang dilakukan ITB sehingga menimbulkan stereotipe negatif di masyarakat.
Komentar