Langsung ke konten utama

Siapa Peduli (Badan Hukum) Pendidikan?

Isu mengenai penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan serta hebohnya kesaksian Susno Duadji mengenai mafia penggelap pajak, seakan menutup mata publik akan banyaknya masalah-masalah penting lain yang harus disikapi. Salah satu isu yang terlupakan dari sorotan publik adalah isu mengenai Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Isu yang sempat hangat di akhir tahun 2008 lalu, ketika berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa yang peduli pendidikan bertahan di gedung DPR/MPR untuk menolak disahkannya UU tersebut seakan menguap begitu saja. Judicial Review yang dilakukan oleh berbagai elemen peduli pendidikan pun rasanya tidak terlalu disorot. Padahal, UU ini menentukan nasib pendidikan Indonesia di masa yang akan datang.
Hari Rabu, 31 Maret 2009 sidang penetapan keputusan akhir Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) No. 9 tahun 2009 akan dilaksanakan. Masih banyak kalangan berharap, agar MK mengabulkan permohonan judicial review tersebut. Namun, lebih banyak pula masyarakat yang tidak peduli dengan ada atau tidaknya keberadaan UU tersebut. Mahasiswa bersama berbagai stakeholder pendidikan yang peduli dengan masalah ini terus berupaya memaksimalkan segala cara untuk mengarahkan keputusan MK agar mengabulkan judicial review UU BHP.
Memang, apa yang salah dengan BHP? Bukankah BHP bagus, memungkinkan masyarakat kecil menikmati pendidikan tinggi, menempatkan otonomi universitas setinggi-tingginya tanpa diganggu campur tangan pemerintah? Banyak alasan mengapa UU BHP perlu kita tolak keberadaannya. Secara umum, UU BHP mengalihkan tanggung jawab pemerintah dalam bidang pendidikan, yang tadinya masuk ke dalam ranah publik, sekarang menjadi ranah privat. Pendidikan, dengan segala aspeknya tidak dapat kita lepaskan dari konsep ruang publik. Melalui pendidikan, ilmu pengetahuan dipertukarkan tidak hanya sebagai sebuah komoditi, atau aset intagible menurut ilmu ekonomi, namun lebih dari itu, sebagai sebuah sarana enkulturisasi dan sosialisasi untuk membentuk insan-insan yang lebih berdaya dan mampu memberdayakan, hal ini sesuai dengan konsep ruang publik, di mana melalui pendidikan pada tataran ideal, masyarakat diharapkan dapat mencapai konsensus serta menciptakan solusi untuk mengatasi masalah bersama melalui ruang publik.

Lalu bagaimana kita dapat mendefinisikan pendidikan yang telah memenuhi kualifikasi ruang publik yang ideal? Jawabannya pun telah sedikit diuraikan di atas, yani ketika pendidikan mampu menjamin aksebilitas setiap elemen masyarakat untuk memperolehnya.
Pertanyaan kunci berikutnya adalah, sudahkah pendidikan di Indonesia terjamin aksebilitasnya? Hari ini, inilah pertanyaan yang menggelayuti dunia pendidikan kita, ketika Undang-Undang BHP (Badan Hukum Pendidikan) muncul sebagai sebuah upaya sistemik liberalisasi pendidikan. Melalui konstruksinya, UU BHP menisbikan peran negara dalam penyediaan pendidikan bagi seluruh rakyat. Terdegradasinya peran negara (deregulasi) adalah salah satu ciri utama liberalisasi yang percaya bahwa keterlibatan negara akan menjadi variabel penghambat efisiensi yang terpolarisasi melalui dinamika pasar, hal ini pada gilirannya akan mengakibatkan tergusurnya pendidikan dari ranah publik ke ranah privat. Sebuah kesesatan berpikir yang nyata, mengingat tidak logis untuk memprivatisasi sektor yang seharusnya bebas dari kompetisi, karena secara struktural, hanya kompetisi yang dapat menekan harga ke tingkat yang lebih rendah. Inilah akar persoalan yang mengakibatkan banyak anak bangsa yang harus mengubur dalam-dalam keinginan luhurnya untuk mengenyam pendidikan karena faktor ketidaktersediaan modal. (Haryo Wisanggeni, “UU BHP Chapter 1: Membangun Ruang Publik yang Tanpa Hati”, 2010)
Komersialisasi pendidikan tidak hanya terjadi dengan adanya pengalihan aset-aset
satuan pendidikan pendidikan yang diperlukan untuk kegiatan belajar mengajar menjadi
aset-aset komersial sehingga mengganggu kegiatan belajar mengajar, penyalahgunaan
hasil dari unit-unit komersial yang dimiliki BHP, melainkan juga yang terpenting adalah
adanya paradigma yang berubah di mana pelayanan pendidikan tidak lagi dipandang
sebagai sebuah kewajiban pelayanan publik (public service) oleh negara melainkan
sudah menjadi suatu “komoditas” (private goods) yang dicirikan dengan adanya
mekanisme pasar untuk menentukan harga dari pelayanan pendidikan sehingga “harga”
dari pelayanan pendidikan yang harus dibayar peserta didik/masyarakat bisa menjadi
fluktuatif bahkan bisa menjadi tidak terjangkau oleh semua kalangan seperti layaknya
barang mewah, kondisi yang demikian akan mengeksploitasi peserta didik/masyarakat
karena kita tahu bahwa pendidikan adalah salah satu kebutuhan hidup yang penting
untuk era seperti sekarang. Hal ini akan terjadi jika peran negara dalam pelayanan umum
menjadi terpinggirkan/diminimalisir padahal negara kita adalah negara kesejahteraan
bukan negara liberal yang menghendaki minimalisasi campur tangan negara dalam
aspek-aspek penting kehidupan masyarakat.
(Pusgerak BEM UI 2007, Pusgerak BEMUI 2008, Yustisia Rachman, Rimas Kautsar, Fitri
Arlinkasari , Kajian UU Badan Hukum Pendidikan, 2008)

Selain itu, untuk melihat kesalahan dari UU BHP secara pasal per pasal dapat dilihat melalui http://www.4shared.com/get/252064769/f87fc8b/kajian_ui_fixed.html . Melihat kemungkinan-kemungkinan privatisasi pendidikan yang mengarah pada komersialisasi pendidikan sehingga pendidikan bukan lagi menjadi barang publik dan tentu saja tidak dapat memenuhi tujuannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka ada baiknya judicial review UU ini diiterima oleh MK. Jadi, masihkah Anda tidak peduli terhadap (badan hukum) pendidikan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Operasi Abses Kelenjar Bartholini

Assalamu'alaikum wr. wb. Apa kabar kawan2? Semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiat serta tetap semangat menjalani aktifitas. Apa kabar saya? Alhamdulillah, keadaan saya hari ini jauh lebih baik dari kemarin maupun beberapa hari yang lalu. Teman2 yang baca postingan saya sebelumnya mungkin telah mengetahui bahwa beberapa hari ke belakang saya menderita suatu penyakit yang membuat saya susah duduk, bangun dan berjalan. Sampai - sampai saya harus masuk UGD untuk disuntik obat penghilang rasa sakit di pantat saking tidak tahannya. Ternyata, setelah pulang dari UGD, obat penghilang rasa sakit itu hanya bertahan satu malam. Keesokan harinya, saya mengalami sakit yang sama. Susah duduk, bangun dan berjan. Terkadang, rasanya perih sekali, sampai-sampai saya menangis karena tidak dapat menahan sakitnya. Namun, karena sudah diberikan salep dan obat penghilang rasa sakit beberapa saat sakitnya mereda. Bahkan dua hari kemudian saya memberanikan diri untuk pergi ke Jurong Point...

Hi, apa kabar?

 Hi Avina, apa kabar? Sedang tidak baik-baik saja. Baru saja skip sholat zuhur untuk acara makan di luar dan beli kopi #duh Iman gw lemah banget yak Padahal... bisa sholat dulu sebelum pergi Padahal.. bisa balik duluan Padahal.. bisa ga usah ikut aja Nyesel banget. Setiap gw sengaja sholat di akhir waktu, akhirnya jd mepet bahkan skip kayak sekarang. Astaghfirullahaladzim. Padahal hidup lagi sulit-sulitnya. Sulit berdamai sama diri sendiri. Sulit komunikasi sama si bos, dan pasangan. Sulit kontrol pengasuhan anak. Etc etc. the list goes on. Banyak mimpi tapi nol aksi, haha. pengen nangis sekarang, mata udah berkaca-kaca nulis ini. Gw pengen resign tapi belum dapet kerjaan, apa kabar KPA 230jt hahahaha. Ga semangat buat ngejar mimpi lanjut PhD Ga semangat buat rutin olahraga padahal udh sign up gym buat 6 bulan. Lost banget di kantor, ilang 10 jam lebih ga sama anak tp ga ada hasil dan bermanfaat. Huhu. ya Allah, maafin hamba...

6 day to Graduation Day

Salam.... Hey all, what's up? I've been had a great time since my last post about "skripsi". Apparently, I had to work so hard (and so fast) to revise my thesis. Alhamdulillah, I made it on time with satisfactory result :) whilst it was so "rempong" to make a hardcover and get the signatories... The result itself was not a straight A (it was so close, just 0,44 again to get A score), but than it's okay for me. Alhamdulillah :D Ok, so now I am waiting for my convocation day (graduation ceremonial) which will be held 6 days later. Well, I'm not quite enthusiastic about this graduation day, realizing that it is just a ceremonial phase and I have to do "make up", dressing, high-heels-ing, etc. But, I can't deny that I am so happy, trying my "toga" made me just want to cry, feels like this time just run so quick and now I am not an undergraduate student anymore... Yes, I do believe that graduation is not the end. It ju...