Pertanyaan kritis gw pertama kali setelah bangun tidur menyadari hari ini tanggal 22 Desember adalah
"Kenapa hari ini dijadikan sebagai hari nasional tanpa libur yang kita sebut dengan 'Hari Ibu'?"
Padahal, sejarahnya tanggal 22 Desember ini adalah awal mula Kongres Wanita (gw lebih suka menulisnya dengan kata perempuan) I di Indonesia. Logikanya, tidak semua perempuan adalah seorang Ibu, tapi kenapa hari ini dijadikan hari Ibu?
Makna "Hari Ibu" yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno berdasarkan Keppres No. 316/1959 menurut gw mereduksi peran perempuan itu sendiri sebagai "Ibu Rumah Tangga". Artinya, semangat hari Ibu yang dimaksud presiden Soekarno menurut gw ga sejalan dengan semangat perempuan yang berjuang menorehkan tinta sejarah perjuangan sosial politiknya sejak Kongres Perempuan I tahun 1928 di Yogyakarta.
Sekarang kita lihat banyak orang di media sosial berceloteh tentang betapa hebat Ibu mereka, betapa sayang mereka pada Ibunya. Tapi, saya khawatir ini hanyalah selebrasi semata, seperti ungkapan kasih sayang di hari Valentine. Seharusnya, di hari ini kita (para perempuan khususnya) melakukan refleksi atas perjuangan para perempuan-perempuan hebat bangsa Indonesia yang memperjuangkan hak-haknya. Kita juga patut bersyukur bahwa di hari ini, 84 tahun yang lalu, perempuan-perempuan Indonesia berhasil menunjukkan eksistensinya di ranah publik. Di tengah budaya patriarki bangsa Indonesia, para perempuan tersebut dapat dengan tegas menyuarakan keinginannya sehingga perempuan saat ini tidak lagi terkungkung dengan budaya konco wingking.
Well said than done, masih banyak perlakuan-perlakuan tidak adil yang dialami oleh perempuan karena mereka perempuan. Ya, karena sesungguhnya menurut pola pikir jadul nan kuno, perempuan hanyalah pelayan laki-laki, warga kelas satu di negara dan dunia ini. Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena toh akhirnya hanya jadi Ibu Rumah Tangga. Buat apa perempuan ke luar rumah? Tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah, mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga.
Hmm, buat saya pikiran-pikiran seperti itu adalah pikiran jadul nan kuno. Di saat perempuan sudah jauh lebih tinggi pendidikannya di atas laki-laki bukan berarti mereka tidak bisa berperan ganda sebagai Ibu Rumah Tangga dan Pelayan Masyarakat. Kontribusi perempuan seharusnya tidak dibatasi pintu pagar rumah tangga. Menjadi Istri, Ibu, Perempuan Karir ataupun Ibu Rumah Tangga adalah pilihan masing-masing perempuan, jangan karena terpaksa mereka menjalani peran tersebut. Sebab saya yakin, potensi perempuan tidak hanya terbatas menjadi Ibu bagi anak-anaknya ataupun Istri bagi suaminya. Lebih dari itu, perempuan bisa menjadi pelayan masyarakat, pemimpin bangsa hingga pemain global dalam segala bidang.
Jadi, selamat hari perempuan untuk para perempuan di seluruh (dan yang berbangsa) Indonesia :)
referensi: http://historia.co.id/artikel/5/613/Majalah-Historia/Hari_(Perjuangan)_Ibu
"Kenapa hari ini dijadikan sebagai hari nasional tanpa libur yang kita sebut dengan 'Hari Ibu'?"
Padahal, sejarahnya tanggal 22 Desember ini adalah awal mula Kongres Wanita (gw lebih suka menulisnya dengan kata perempuan) I di Indonesia. Logikanya, tidak semua perempuan adalah seorang Ibu, tapi kenapa hari ini dijadikan hari Ibu?
Makna "Hari Ibu" yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno berdasarkan Keppres No. 316/1959 menurut gw mereduksi peran perempuan itu sendiri sebagai "Ibu Rumah Tangga". Artinya, semangat hari Ibu yang dimaksud presiden Soekarno menurut gw ga sejalan dengan semangat perempuan yang berjuang menorehkan tinta sejarah perjuangan sosial politiknya sejak Kongres Perempuan I tahun 1928 di Yogyakarta.
Sekarang kita lihat banyak orang di media sosial berceloteh tentang betapa hebat Ibu mereka, betapa sayang mereka pada Ibunya. Tapi, saya khawatir ini hanyalah selebrasi semata, seperti ungkapan kasih sayang di hari Valentine. Seharusnya, di hari ini kita (para perempuan khususnya) melakukan refleksi atas perjuangan para perempuan-perempuan hebat bangsa Indonesia yang memperjuangkan hak-haknya. Kita juga patut bersyukur bahwa di hari ini, 84 tahun yang lalu, perempuan-perempuan Indonesia berhasil menunjukkan eksistensinya di ranah publik. Di tengah budaya patriarki bangsa Indonesia, para perempuan tersebut dapat dengan tegas menyuarakan keinginannya sehingga perempuan saat ini tidak lagi terkungkung dengan budaya konco wingking.
Well said than done, masih banyak perlakuan-perlakuan tidak adil yang dialami oleh perempuan karena mereka perempuan. Ya, karena sesungguhnya menurut pola pikir jadul nan kuno, perempuan hanyalah pelayan laki-laki, warga kelas satu di negara dan dunia ini. Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena toh akhirnya hanya jadi Ibu Rumah Tangga. Buat apa perempuan ke luar rumah? Tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah, mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga.
Hmm, buat saya pikiran-pikiran seperti itu adalah pikiran jadul nan kuno. Di saat perempuan sudah jauh lebih tinggi pendidikannya di atas laki-laki bukan berarti mereka tidak bisa berperan ganda sebagai Ibu Rumah Tangga dan Pelayan Masyarakat. Kontribusi perempuan seharusnya tidak dibatasi pintu pagar rumah tangga. Menjadi Istri, Ibu, Perempuan Karir ataupun Ibu Rumah Tangga adalah pilihan masing-masing perempuan, jangan karena terpaksa mereka menjalani peran tersebut. Sebab saya yakin, potensi perempuan tidak hanya terbatas menjadi Ibu bagi anak-anaknya ataupun Istri bagi suaminya. Lebih dari itu, perempuan bisa menjadi pelayan masyarakat, pemimpin bangsa hingga pemain global dalam segala bidang.
Jadi, selamat hari perempuan untuk para perempuan di seluruh (dan yang berbangsa) Indonesia :)
referensi: http://historia.co.id/artikel/5/613/Majalah-Historia/Hari_(Perjuangan)_Ibu
Komentar