Hari ini gw telat. Well, telatnya pake banget. Harusnya masuk jam 08.00, gw malah baru dating ke kantor
jam 09.48 (kalo ga salah). Yah, payah banget deh. Gw masih gagal mengatur waktu
sedemikian rupa sehingga bisa telat banget.
Ada yang salah? Iya, ada. Terlepas dari gw baru berangkat
dari rumah jam 06.30 dan ga berusaha mengejar kereta yang pertama gw lihat di
stasiun, balik lagi ke rumah dan akhirnya dianterin naik motor sampai ke
stasiun Palmerah (yang itu juga udah terlambat banget), ga berusaha naik kereta
pertama yang gw lihat di stasiun tersebut dan mau nggak mau akhirnya nunggu
kereta berikutnya yang berjarak sekitar 30 menit dari kereta pertama, gw merasa
hidup di Jakarta semakin pathetic.
Iya, pathetic.
Kalo di Microsoft Word, “pathetic”
itu sinonimnya useless, dismal,weak, etc.
Ketika gw menunggu di stasiun Pondok Ranji, tiga kereta
lewat begitu aja, padahal gw udah nunggu sekitar 20 menit, karena gw ga bisa
masuk ke dalam kereta. Manusia sudah berhimpit memenuhi ruang gerbong dan tidak
ada lagi ruang tersisa, bahkan untuk udara. Hanya beberapa orang yang memiliki
badan elastis atau yang emang punya daya dorong yang sangat kuatlah yang bisa
masuk ke dalam gerbong. Sementara ratusan orang lainnya terus berdatangan dari
arah pintu masuk stasiun, untuk berjuang melanjutkan kehidupan mereka dengan
KRL commuter line.
Jakarta is pathetic.
Bukan cuma di stasiun Pondok Ranji, di jalan dari
Bintaro-Keb.Lama-Palmerah, saya melihat lautan mobil, free parking, di mana-mana. Sementara motor masih bisa melaju
walaupun sedikit-sedikit, saya kira mobil hanya bisa berjalan 50 meter dalam
waktu 30 menit. Saya ga tahu kalau saya berangkat naik mobil dari rumah sekitar
jam 07.00 WIB bisa sampai jam berapa di kantor, yang letaknya di kawasan Kota. Kemacetan
di Ibukota sudah semakin gila.
Orang-orang yang berjuang hidup di Jakarta menurut saya
orang yang daya tahan (resilience)-nya
tertinggi di dunia. Dengan semakin banyaknya manusia yang menggantungkan
hidupnya di sini, semakin banyak pula yang memakai konsep one car one man. Inefisiensi transportasi umum dan ketika semua
orang keluar pada jam yang bersamaan, the
road in Jakarta is like a road to hell heaven.
Saya ga tau, bagaimana caranya mengurai kemacetan di kota Jakarta
yang semakin hari semakin parah. Saya juga ga tau, gimana caranya mendidik
masyarakat Jakarta yang lebih disilin, lebih toleran dan ga banyak gaya. Saya
ga tau, gimana pada akhirnya mereka betah hidup di Jakarta.
Saya rasa, keluar dari Jakarta selama tiga tahun akan
membuat saya semakin betah tinggal di Jakarta. Tetapi, saya salah. Saya masih
belum bisa menghadapi kenyataan bahwa saya hidup di antara 25 juta orang yang
menggantungkan hidupnya di kota ini dan sama-sama menciptakan kota yang aman,
nyaman dan bersahaja bagi penduduknya.
Komentar