Pada tanggal 1 - 5 April 2017 yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Dhaka, ibukota negara Bangladesh dalam rangka mendampingi anggota BKSAP DPR mengikuti sidang Inter-parliamentary Union (IPU) ke-136.
Selama kurang lebih 5 hari, 5 malam berada di kota tersebut saya menemukan banyak hal. Suasana kota yang dihuni oleh lebih dari 30 juta jiwa pada saat siang hari ini mengingatkan kita kepada suasana kota Jakarta di era 80an. Well, saya belum lahir sih tahun itu haha, tapi kebayang lah gimana ruwet dan rumitnya kehidupan di sana.
Banyak hal yang saya lihat di Dhaka. Pertama kali mendarat di bandara internasional Hazharat Shahjalal, saya disuguhkan dengan penyambutan untaian bunga yang hangat bagi para anggota delegasi. Kami dibawa untuk menunggu di ruang VIP, agak lama, sekitar hampir satu jam sampai bagasi kami keluar semua. Keluar dari Bandara, tengah pagi buta, kami dikawal oleh rombongan voorijder polisi melewati kompleks tentara yang jauhhhhh sekali jalannya. Ternyata memang jalan yang diambil bukan jalan biasa dilewati orang-orang untuk ke bandara. Seminggu sebelum kedatangan delegasi IPU, diketahui ada serangan bom bunuh diri dari ISIS yang meledak di dekat bandara.
Malam pertama, saya habiskan di penginapan air bn'b yang terletak di kompleks perumahan tentara. Cukup aman lah ya. Hal menarik yang kami temukan adalah sistem perkereta apian yang masih sangat manual. Para penjaga palang pintu kereta api di Dhaka masih menggunakan sistem manual, memakai bendera untuk memberitahukan sinyal masuk kereta api. Kereta yang dipakai di Dhaka pun merupakan kereta ekonomi "sepur" yang sudah tidak lagi beroperasi di area Jabodetabek.
Miris... Ketimpangan di kota ini terasa sekali. Di depan hotel Westin, ada sebuah pasar yang menjual berbagai mutiara. Namun, di sisi lain pasar ini ada banyak anak-anak yang mengemis, meminta makanan. Standar hidup di Dhaka sangat rendah. Namun, banyak juga yang bisa mengadakan pesta pernikahan mewah di hotel bintang lima.
Tentang Rickshaw (becak)
Di Dhaka, selain jalan kaki dan bus, alternatif kendaraan umum adalah rickshaw alias becak. Becak yang ada di Dhaka dikendarai oleh supir yang menaiki sepeda. Penumpang duduk di belakang supir, kapasitas tempat duduk hanya untuk 2 orang. Harga yang mereka tawarkan untuk turis tentu saja berbeda dengan harga untuk penduduk lokal. Pengendara Rickshaw yang saya naiki dengan bu Irine meminta bayaran sekitar 100 Taka (kurang lebih $1,25) untuk jarak yang sangat dekat. Ketika bu Irine menyerahkan satu lembar uang kertas senilai 1000 Taka, pengendara tersebut hampir berlinang air mata. Dapat dibayangkan, penghasilan hariannya yang hanya sekitar 200-300 Taka langsung berlipat ganda dengan bayaran yang diberikan oleh bu Irine.
Bertemu dengan Farah
Sewaktu saya mengikuti GMUN tahun 2011 di Korea, saya mendapat banyak teman yang masih terhubung lewat Facebook. Salah satunya Farah Maliha, mahasiswa asal Bangladesh yang sangat baik sekali. Saya kebetulan mengikutinya di Instagram, malam pertama saya di Dhaka langsung saya hubungi lewat direct message. Saya kira tidak akan dibalas, ternyata langsung dibalas. Kami pun janji bertemu tanggal 5 April dan ia langsung menjemput saya ke hotel pada waktu yang telah kami sepakati. Selama sekitar 2,5 - 3 jam saya berjalan dengan Farah, kami banyak bertukar cerita. Tentang kegiatan saya selama di Dhaka, tentang aktivitas saya di Jakarta, tentang kegiatan Farah, kisah hidupnya selama 5 tahun terakhir, tentang teman-teman GMUN kami dan tentang keadaan politik Bangladesh.
Farah merupakan salah satu contoh potret kelas menengah (atas) Bangladesh yang menyayangkan keadaan politik diktator di sana. Farah sendiri menghabiskan 4 tahun hidupnya belakangan di kawasan Timur Tengah. Ia betul-betul menginspirasi saya, dalam hal diet terutama. Haha. Ketika bertemu di GMUN 2011, saya merasa Farah sangat besar, sekarang badannya jauh lebih kurus dari sebelumnya . Kami pun berjanji untuk saling membuat tubuh kami menjadi lebih sehat dan berlatih untuk Half Marathon tahun ini :)
Ah ya, cerita ini juga saya bagi dengan beberapa teman lewat whatsapp dan instagram. Saya bersyukur diberi kesempatan melihat kota ini, sebab Dhaka bukan sebuah kota yang lazim dikunjungi untuk travelling, haha.
Selama kurang lebih 5 hari, 5 malam berada di kota tersebut saya menemukan banyak hal. Suasana kota yang dihuni oleh lebih dari 30 juta jiwa pada saat siang hari ini mengingatkan kita kepada suasana kota Jakarta di era 80an. Well, saya belum lahir sih tahun itu haha, tapi kebayang lah gimana ruwet dan rumitnya kehidupan di sana.
Banyak hal yang saya lihat di Dhaka. Pertama kali mendarat di bandara internasional Hazharat Shahjalal, saya disuguhkan dengan penyambutan untaian bunga yang hangat bagi para anggota delegasi. Kami dibawa untuk menunggu di ruang VIP, agak lama, sekitar hampir satu jam sampai bagasi kami keluar semua. Keluar dari Bandara, tengah pagi buta, kami dikawal oleh rombongan voorijder polisi melewati kompleks tentara yang jauhhhhh sekali jalannya. Ternyata memang jalan yang diambil bukan jalan biasa dilewati orang-orang untuk ke bandara. Seminggu sebelum kedatangan delegasi IPU, diketahui ada serangan bom bunuh diri dari ISIS yang meledak di dekat bandara.
Malam pertama, saya habiskan di penginapan air bn'b yang terletak di kompleks perumahan tentara. Cukup aman lah ya. Hal menarik yang kami temukan adalah sistem perkereta apian yang masih sangat manual. Para penjaga palang pintu kereta api di Dhaka masih menggunakan sistem manual, memakai bendera untuk memberitahukan sinyal masuk kereta api. Kereta yang dipakai di Dhaka pun merupakan kereta ekonomi "sepur" yang sudah tidak lagi beroperasi di area Jabodetabek.
Miris... Ketimpangan di kota ini terasa sekali. Di depan hotel Westin, ada sebuah pasar yang menjual berbagai mutiara. Namun, di sisi lain pasar ini ada banyak anak-anak yang mengemis, meminta makanan. Standar hidup di Dhaka sangat rendah. Namun, banyak juga yang bisa mengadakan pesta pernikahan mewah di hotel bintang lima.
Tentang Rickshaw (becak)
Di Dhaka, selain jalan kaki dan bus, alternatif kendaraan umum adalah rickshaw alias becak. Becak yang ada di Dhaka dikendarai oleh supir yang menaiki sepeda. Penumpang duduk di belakang supir, kapasitas tempat duduk hanya untuk 2 orang. Harga yang mereka tawarkan untuk turis tentu saja berbeda dengan harga untuk penduduk lokal. Pengendara Rickshaw yang saya naiki dengan bu Irine meminta bayaran sekitar 100 Taka (kurang lebih $1,25) untuk jarak yang sangat dekat. Ketika bu Irine menyerahkan satu lembar uang kertas senilai 1000 Taka, pengendara tersebut hampir berlinang air mata. Dapat dibayangkan, penghasilan hariannya yang hanya sekitar 200-300 Taka langsung berlipat ganda dengan bayaran yang diberikan oleh bu Irine.
Bertemu dengan Farah
Sewaktu saya mengikuti GMUN tahun 2011 di Korea, saya mendapat banyak teman yang masih terhubung lewat Facebook. Salah satunya Farah Maliha, mahasiswa asal Bangladesh yang sangat baik sekali. Saya kebetulan mengikutinya di Instagram, malam pertama saya di Dhaka langsung saya hubungi lewat direct message. Saya kira tidak akan dibalas, ternyata langsung dibalas. Kami pun janji bertemu tanggal 5 April dan ia langsung menjemput saya ke hotel pada waktu yang telah kami sepakati. Selama sekitar 2,5 - 3 jam saya berjalan dengan Farah, kami banyak bertukar cerita. Tentang kegiatan saya selama di Dhaka, tentang aktivitas saya di Jakarta, tentang kegiatan Farah, kisah hidupnya selama 5 tahun terakhir, tentang teman-teman GMUN kami dan tentang keadaan politik Bangladesh.
Farah merupakan salah satu contoh potret kelas menengah (atas) Bangladesh yang menyayangkan keadaan politik diktator di sana. Farah sendiri menghabiskan 4 tahun hidupnya belakangan di kawasan Timur Tengah. Ia betul-betul menginspirasi saya, dalam hal diet terutama. Haha. Ketika bertemu di GMUN 2011, saya merasa Farah sangat besar, sekarang badannya jauh lebih kurus dari sebelumnya . Kami pun berjanji untuk saling membuat tubuh kami menjadi lebih sehat dan berlatih untuk Half Marathon tahun ini :)
Ah ya, cerita ini juga saya bagi dengan beberapa teman lewat whatsapp dan instagram. Saya bersyukur diberi kesempatan melihat kota ini, sebab Dhaka bukan sebuah kota yang lazim dikunjungi untuk travelling, haha.
Komentar