Hari ini, tepat 30 tahun yang lalu, Bapak dan Mama secara resmi mengikatkan diri dalam sebuah ikatan perjanjian yang sangat kuat/berat, yakni mitsaqan ghaliza dalam bentuk pernikahan.
Dari pernikahan mereka lahir tiga anak perempuan: Nana (saya), Sasa, dan Lala.
Setelah 30 tahun menikah, tentunya banyak sekali hal yang dijalani dan dialami bersama. Ups and downs, suka duka, bahagia dan sedih, senang, kecewa, marah dan ribuan perasaan lain yang mereka alami. Berbagai peristiwa yang menjadikan ikatan pernikahan mereka masih utuh hingga saat ini, alhamdulillah.
Tidak mudah, tentu amat sangat tidak mudah, 30 tahun hidup bersama seseorang yang memiliki kebiasaan, karakter dan keinginan yang berbeda. Konflik pasti terjadi dalam skala besar maupun skala kecil sehari-hari. Se-simple Bapak nggak mau mandi karena malas tapi kemudian dipaksa sama mama.
Sejak Bapak menderita penyakit stroke 3 tahun yang lalu, kondisi pernikahan ini tentu menghadapi perubahan besar. Sebagai anak pertama yang telah membersamai mereka selama 29 tahun, saya bisa melihat dan merasakan sendiri bahwa menikah itu tidak mudah, namun setiap hari selalu ada ruang untuk bertumbuh dan belajar hingga akhirnya perbedaan-perbedaan yang ada bisa dimaklumi atau paling tidak sementara egoisme ditekan sedalam-dalamnya demi keutuhan rumah tangga.
30 tahun menikah, bukan hanya kebahagiaan yang mereka rasakan, tentu ada momen-momen di mana ujian tersebut datang berupa masalah-masalah yang tidak sepele. Saya masih ingat betul, hari di mana Bapak saya pernah mengucapkan kata "ingin bercerai" karena masalah hutang yang beliau hadapi dan Ibu saya dirasa tidak membantunya sama sekali.
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT yang Maha Pembolak Balik Hati, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, masalah pelik tersebut dapat teratasi dengan pengorbanan yang dilakukan Ibu saya. Setelah Bapak sakit pun, tidak terhitung berapa biaya, waktu dan tenaga yang Ibu saya berikan untuk merawat Bapak.
Saya belajar dari mereka berdua, bahwa se-sempurna-sempurnanya orang tua di mata anak-anaknya, mereka tetaplah manusia biasa yang tidak sempurna. Banyak kekurangan dan kelemahan yang mau tidak mau harus dimaklumi satu sama lain, termasuk harus dimaklumi oleh anak-anaknya, karena kita tidak bisa memilih dilahirkan dari keluarga yang mana kan?
Pernikahan adalah soal kerjasama, saling pengertian, menurunkan ego, pengorbanan, kasih sayang, kesetaraan, pertemanan hingga persoalan memberi penghidupan dan kehidupan kepada anak-anak serta relasi dengan keluarga besar serta masyarakat luas.
Pernikahan, dari kacamata saya adalah hal yang rumit. Sungguh rumit hingga saat ini saya pun sejujurnya masih menyimpan keraguan, apakah saya bisa bertahan jika saya menikah nanti? Apakah saya bisa bertahan sejauh Mama dan Bapak mempertahankan pernikahan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan yang kerap ada di pikiran saya juga, apakah saya rela menjadi dan menjalankan peran sebagai istri dan ibu kelak? Karena pernikahan bukan permainan, pernikahan bukan hanya tentang mencari kebahagiaan, pernikahan pun bisa dimulai dari orang yang saling tidak mengenal kemudian menjadi belahan jiwa yang tidak terpisahkan.
Semoga Allah SWT selalu menguatkan hati dan memberikan ketenangan untuk setiap pasangan yang sudah menikah, diberikan rasa syukur dan sabar yang seluas-luasnya untuk menjalani peran di setiap tahap kehidupan.
Dan semoga saya bisa mengikuti teladan Bapak dan Mama dalam berumah tangga nantinya, entah dengan siapa.
Peluk Cium
Nana
Komentar